Opini : Dibalik Cerpen "Dari Gunuang Omeh, ke Jalan Lain di Moskow, Menuju Hukuman Mati di Kediri" karya Heru Sang Amurwabumi



Saya baru saja membaca cerpen yang menarik berlatar belakang sejarah Indonesia. Cerpen ini berjudul "Dari Gunuang Omeh, ke Jalan Lain di Moskow, Menuju Hukuman Mati di Kediri", untuk membaca cerita lengkapnya bisa di klik pada judul diatas.

Untuk bisa memahami cerpen ini, diperlukan beberapa pengetahuan tentang sejarah, yaitu tentang Perjanjian Renville dan Perjanjian Linggarjati.

Dampak dari Perjanjian Renville adalah berkurangnya wilayah kekuasaan Indonesia yang telah diakui secara de facto, hal ini sangat merugikan pihak Indonesia. Wilayah-wilayah penghasil kebutuhan pokok telah dikuasai oleh pihak Belanda menyebabkan perekonomian Indonesia memburuk terlebih ketika Belanda melakukan blokade-blokade ekonomi. Pemblokadean ekonomi merupakan salah satu taktik pihak Belanda untuk melemahkan Indonesia.

Sedangkan dari Perjanjian Linggarjati, pelaksanaan hasil perundingan tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.

Tokoh yang diceritakan pada cerpen ini mengatakan, “Saya bukan pengkhianat. Saya hanya tak terima ketika orang-orang di Jakarta terlalu kompromi dengan Renville dan Linggarjati!”

Berdasarkan hal tersebut dapat dirasakan jiwa patriot tokoh cerpen tersebut, namun ia mendapat perlakuan yang tidak seharusnya dan merenggang nyawa di Gunung Wilis karena tembakan peluru pasukan militer Jawa Timur.

Dari judul cerpen ini, "Dari Gunuang Omeh", Gunuang Omeh adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, Indonesia dan beribu kota di Koto Tinggi. Kecamatan ini baru terbentuk pada tahun 2006. Sebelumnya bersama Kecamatan Suliki membentuk Kecamatan Suliki Gunuang Omeh.

Berdasarkan hal tersebut, saya berasumsi bahwa tokoh yang dibicarakan pada cerpen ini adalah Tan Malaka. Selain itu, Tan Malaka juga pendiri dari Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak). Sebelumnya, sejarah mengatakan Tan Malaka adalah seorang komunis dan pengkhianat, padahal dia berasal dari Minang yang sangat kental dengan nilai Islam.

Membaca cerpen ini membuat saya merasa sedih atas perlakuan tidak adil yang diterima Tan Malaka. Padahal pokok-pokok pikiran Tan Malaka dalam buku-bukunya menjadi landasan berpikir bagi banyak pendiri bangsa yang lain. Sampai, Muhammad Yamin menjulukinya Bapak Republik Indonesia, karena merupakan tokoh pertama yang memberi nama Republik dalam Bukunya, ‘Naar de Republiek Indonesia’.

Jenderal Nasution mengakui, pikirannya dalam Kongres Persatuan Perjuangan, Buku dari Penjara ke Penjara dan Gerpolek, menjadi bahan bagi berkembangnya ide perang rakyat semesta yang sukses diterapkan TNI selama perang kemerdekaan mulai 1945-1949.

Bagi saya, cerpen ini sangat menarik, benar-benar mengerti sejarah dan juga menjelaskan bagaimana akhir hayat seorang Tan Malaka. Dalam cerpen ini, seolah-olah kita bisa merasakan emosi dari tokoh dalam cerita, juga seperti menyaksikan langsung kejadian tersebut. Selain itu, pilihan diksi yang digunakan dalam cerpen ini tepat dan spesial. Salut sekali untuk penulis cerpen ini, kak Heru Sang Amurwabumi. 





Komentar

Postingan Populer