Cerbung : Petualangan Misteri Andrea dan Amalia (Bagian 1)

Cerbung : Petualangan Misteri Andrea dan Amalia (Bagian 1)

Untuk menuju jorong Paninjauan yang berada di atas gunung itu, orang-orang kampung perlu melewati jalanan mendaki. Beberapa bagian jalan sudah di aspal dan sebagian masih berupa tanah dan bebatuan. Udara di desa itu sangat dingin ketika pagi hari dan kadang terasa sangat panas di siang hari.

Di jorong itu, terdapat sebuah rumah sederhana berwarna hijau yang ditinggali oleh sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan kedua putri kembar. Sang ayah jarang berada di rumah, karena harus pergi bekerja di kota. Kedua putri kembarnya yang berusia 7 tahun itu hanya tinggal dengan ibu tirinya.

Ibu kandung anak kembar itu menutup usia saat melahirkan mereka, dan ayah mereka menikah lagi di saat usia mereka 4 tahun. Namun, ibu tiri mereka terlalu sibuk dengan kehidupannya dan sering mengabaikan kedua putri kembar itu, bahkan kadang wanita itu bertindak kasar kepada mereka.

Andrea dan Amalia sering ditinggal sendiri di rumah itu, kadang tanpa makanan. Andrea dan Amalia sering merasa kelaparan dan merindukan sosok ayah yang menyayangi mereka, juga kehangatan seorang ibu. Tetapi, mereka bisa saling menghibur dan bermain bersama tanpa ayah dan ibu mereka. Mereka lebih sering bermain berdua saja.

Ketika itu, mereka melihat ibu tiri sedang tertidur. Andrea menatap keluar jendela.

"Amalia, pai main wak kalua (kita main keluar yuk)", kata Andrea.

"Ayokk..", sahut Amalia.

Merekapun membuka pintu rumah pelan-pelan, takut membangunkan ibu tiri yang mereka panggil dengan ibu Riana itu.

Terekam dalam benak mereka, saat ibu Riana marah-marah melihat baju mereka kotor penuh dengan tanah saat pulang bermain. Walaupun takut untuk keluar rumah, tetapi Andrea dan Amalia tidak suka berada di rumah, mereka lebih suka bermain dengan alam.

Mereka berjalan-jalan, hanya berdua. Berbagai macam pohon tumbuh disana, ada bunga-bunga berkelopak kuning, merah muda, jingga dengan putik berwarna kuning. Mereka melihat ada kupu-kupu berwarna jingga dengan pinggiran sayap berwarna hitam sedang menghisap sari-sari pada bunga.

kupu-kupu
Sumber foto : tek.id
Seperti terhipnotis, mereka mengikuti arah kupu-kupu itu terbang. Kemudian, kupu-kupu itu terbang ke arah pohon yang tinggi. Mereka tak melihat kupu-kupu itu lagi. Merekapun sampai ke tengah hutan. Disekeliling mereka adalah pohon-pohon yang besar. Mereka melihat ada seorang wanita berbaju putih dan berambut hitam panjang sedang menyiram tanaman. Kulit wanita itu sangat putih.

Wanita itu menyadari kehadiran kedua anak kembar itu dan menyapa mereka.

"Hai..", sapa wanita itu.

Anak kembar itu merasa senang ada seseorang memberikan senyuman kepada mereka.

"Hai..", kata Andrea dan Amalia tersenyum malu.

"Sia namo kalian? Namo ambo Ratih (Siapa nama kalian? Nama aku Ratih)", katanya.

"Ambo Andrea"

"Ambo adiaknyo, Amalia"

"Oo, kalian kamba yo? Rancak bana (Wah, kalian kembar ya? Manis sekali)", kata wanita itu.

Wanita bernama Ratih itu mengajak Andrea dan Amalia masuk ke dalam rumahnya. Saat itu, kedua anak kembar itu memang sudah kehausan dan kelaparan. Kak Ratih menawari mereka makan pisang goreng, galamai (dodol/jenang) dan segelas teh manis hangat. Kedua anak itu memakan dengan lahap.

Andrea dan Amalia melihat-lihat rumah kak Ratih, terdapat banyak binatang disana.

"Uni, suko binatang yo? (Kakak, suka binatang ya)", tanya Andrea.

"Iyo..", jawab kak Ratih singkat.

Semakin lama suhu di rumah itu semakin dingin. Andrea dan Amalia ingin segera pulang ke rumah mereka.

"Uni, kami pulang dulu yo.. tapi, kami ndak tau jalan pulang ka rumah (Kak, kami mau pulang dulu ya.. tapi, kami tidak tahu jalan pulang ke rumah)", kata Amalia.

"Iyo uni, di lua alah kalam..(Iya kak, dan di luar juga sudah gelap)", kata Andrea.

"Iyola, uni antakan ka rumah yo.. rumah kalian dima? (Baiklah, kakak antar kalian ke rumah ya.. rumah kalian dimana?)"

" Di jorong Paninjauan, uni."

"Iyola, uni antakan yo.."

"Tarimo kasih ni."


***

Di rumah Andrea dan Amalia

Ibu tiri mereka, ibu Riana terbangun setelah tidurnya yang cukup lama. Dia memanggil-manggil nama kedua anak kembar itu untuk mengambilkan segelas air, tenggorokannya terasa kering. Tetapi, tidak ada jawaban dari kedua anak itu.

Ibu Riana menunggu kedua bocah itu untuk memarahi mereka. Tetapi, kedua anak itu tak kunjung pulang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Iapun mulai khawatir, bukan khawatir jika terjadi sesuatu kepada anak kembar itu, tetapi khawatir suaminya tahu kalau ia tidak menjaga mereka dengan baik.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer